Hari ini genap empat puluh empat tahun kepergian Gie. Saya mengenalnya dari “dekat” dan dari “jauh.” Ia seorang demostran, humanis, bahkan sosialis. Banyak yang telah menulis tentang Soe Hok Gie. Saya juga ikut mengingatnya dengan sepenggal tulisan pendek.
Kawah Jonggring Saloko di Puncak Mahameru, puncak Gunung Semeru, meletus lagi, memuntahkan uap hitam yang menghembus membentuk tiang awan. Rudy Badil bersama Maman Abdurachman alias Maman terseok menuruni dataran lereng yang terbuka penuh pasir bebatuan.
Soe Hok Gie yang sedang duduk ‘ditemukannya’ sedang termenung setelah turun lebih dulu dari Mahameru. Dia menyapa sekilas Hok-Gie yang yang sedang duduk dengan gaya khas: lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu.
Sore itu, Selasa Pon 16 Desember 1969, di tengah kondisi yang darurat, Soe malah menyempatkan menitipkan batu dan daun cemara untuk teman-teman perempuannya.“Nih gue titip ya, ambil dan bawa pulang batu Semeru , batu dari tanah tertinggi di Jawa. Simpan dan berikan ke cewek-cewek,” kata Luky Badil mengutip ucapan Hok-Gie ketika itu.
Teman sependakian lainnya, Wiwiek alias Wijana juga sempat ngobrol dengan Gie. “Wiek bawa ke Jakarta daun cemara ini, itu daun cemara dari hutan tertinggi di Pulau Jawa kasih buat cewek-cewek kita di kampus Rawamangun,” kata dia sambil menitipkan sejumput daun cemara. Ternyata itu adalah obrolan mereka yang terakhir kali sebelum akhirnya Gie ditemukan tewas. Entah wanita mana yang dia panggil dengan sebutan ‘cewek-cewek’. Yang jelas, Soe Hok Gie aktivis angkatan 1966 ini memang dikenal punya banyak teman akrab mahasiswi di Fakultas Sastra Universitas Indonesi.
Pada menjelang tahun-tahun terakhir hidupnya, ada tiga wanita yang akrab dengan Soe, yakni Kartini Pandjaitan, yang kemudian menjadi istri Syahrir alamarhum, Luki Sutrisno Bekti, dan juga Nessy Luntungan Rambitan.
Luki Sutrisno Bekti, sudah dekat dengan Soe sejak 1967-1969. Dia menyebut Soe Hok Gie adalah orang yang menyenangkan dan sangat perhatian pada banyak orang, sehingga ia sering jadi tempat curhat. Bagai seorang dokter yang buka praktik, orang harus bikin janji dulu jika ingin bicara serius dengan dia.
Gie, pria kurus cungkring bermata cipit ini ternyata selain piawai di kancah politik dan sastra budaya, ia juga dikenal sangat humanis. Kepeduliannya yang tinggi membuatnya punya banyak teman.
“Dia orang yang pandai mendengarkan dan menanggapi keluh kesah teman-temannya, teman curhat yang baik. Teman perempuan maupun laki-laki tak sungkan curhat pada Hok-Gie,” ujar Luki Bekti seperti dimuat di buku “Soe Hok-Gie, Sekali Lagi”.
Namun sampai kini ‘cewek-cewek’ beruntung yang mendapat titipan batu dan daun cemara Gunung Semeru dari Soe Hok Gie itu tetap menjadi misteri. Hari ini, saya termasuk orang yang pernah mengenal Gie dari jauh dan dekat, lewat Johni Lumenta, temannya Rudy Badil. Ada empat kali saya bertemu dengan pemuda “sosialis” itu. Satu kesan yang hingga kini saya pendam, “menyenangkan.”
Soe Hok Gie mirip seperti kakaknya, ilmuwan Arief Budiman. Yang menikah dengaqn wanita Minang Leila, adik kandung mantan Menteri Pertanian Syafruddin Baharsya, adalah sosok yg gaya bicaranya lugas, menggugat, berintegritas tinggi, dan sering tampak kurang sabaran.
“Sebagai seorang aktivis, Gie tidak sabaran, mau tembak langsung, sedangkan saya digerakkan oleh naluri kewartawanan dengan sikap with understanding,” begiti kesan Badil Lumenta atau pun Maman yang saya dengar dalam sebuah kesempatan di penghujung enam puluhan.
Gie, seperti halnya Arief Budiman, cenderung hitam-putih dalam melihat persoalan. Keuntungannya, dengan sikapnya itu, analisis Gie menjadi tajam menusuk. Kerugiannya, analisis Gie bisa menghilangkan nuansa.’
Gie misalnya, hanya melihat ada dua pilihan di Indonesia ini: menjadi idealias atau apatis. “Saya memutuskan harus menjadi idealias sampai batas sejauh-jauhnya. Kadang saya takut apa jadinya saya kalau saya patah-patah..” Ujar Gie suatu ketika.
Saya membaca lagi tulisan ‘’kegelisahan’’ khas Soe Hok Gie yang dimuat di buku lawas ‘Issue dan Igauan dari Salemba.,’.beberapa waktu lalu. Ia menulis artikel berjudul, ‘’Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua’’
Di tulisan itu Gie tampak ‘’galau’’ — meminjam istilah anak sekarang — karena Ketua Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, tempatnya menempuh pendidikan, sudah bertanya, kapan ia mau menyerahkan skripsinya.
Ia jujur mengaku tersadar status mahasiswa yang telah disandangnya 6,5 tahun dengan nyaman, bakal segera harus ditanggalkannya. “Saya merasa bahagia karena cita-cita saya untuk menjadi seorang sarjana akan terkabul dalam waktu tidak lama lagi..,” tulis Gie. Tapi, lanjutnya, “timbul perasaan sedih dalam diri saya. Teringat masa-masa belajar, diskusi, ujian, nonton film & cerita-cerita murahan di kampus.’’
Manusia biasa, di mata Gie, adalah mahasiswa yang datang ke kelas secara serius, mengikuti kuliah meski dosennya kadang membosankan. Dan jelang ujian, tiba-tiba menjadi sosok-sosok yang belajar dengan tekun di perpustakaan, laboratorium, dan berdiskusi sungguh-sungguh dengan sesama mahasiswa.
Dan, sebagai manusia biasa, mahasiswa juga perlu kegiatan lain. Seperti,berolahraga, berorganisasi, bikin acara/lomba kesenian, dan naik gunung. Juga, tulis Gie, ‘’Putar film-film bermutu atau sesekali nonton film murahan,dan sesekali membuat lelucon-lelucon jorok, khas mahasiswa.’’
Tetapi tegas Gie, pada saat yang menentukan, mahasiswa harus TEGAS, BERANI turun ke jalan, berani menghadapi panser-panser tentara yang mau menginjak-injak demokrasi. “Dan berkata TIDAK terhadap siapa pun juga yang ingin merobek-robek rule of law dan kemerdekaan bangsanya,” tegas Gie.
Dalam tulisannya, Gie juga mengungkapkan kesedihannya melihat banyaknya mahasiswa dan pemuda yang mengingkari hakikat kemahasiswaan dan kepemudaannya. Sosok-sosok yang digambarkan Gie sebagai “Yang tumbuh dalam kampus adalah suasana kepicikan dan kemunafikan. Mahasiswa-mahasiswa berlomba untuk menjadi suci secara tidak pada tempatnya.
Di fakultas saya terdapat beberapa kelompok mahasiswa yang antidansa secara keterlaluan. Seolah-olah yang dansa adalah iblis-iblis yang akan merusak moral pemuda. Dan kehidupan mahasiswa-mahasiswi mau diatur menurut pola-pola abad XII — bahwa sex adalah suatu kejahatan Soe Hok Gie, yang saya kenal, dan ikuti perjalanannya sebagai “manusia baru,” istilah Moechtar Lubis, sangat terkesan dengan buku ‘4 Profile of Courage’nya John F Kennedy. Ia melahap kisah-kisah keberanian sosok-sosok yang membela prinsip kebenaran dan berani melawan arus massa dan partainya sendiri. Gie mengaku mendapatkan pelajaran bahwa sosok-sosok seperti ini kerap kalah, diasingkan, dicaci, dan memilih kematian daripada mengkhianati keyakinannya sendiri. Gie dengan sadar mengakui, buku John F Kennedy itu sedikit-banyak mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya.
Gie adalah sosok yang selalu ingin melihat seorang politikus dengan ‘P’ besar dan bukannya seorang politikus dengan ‘P’ kecil! Politikus dengan ‘P’ besar, di mata Gie adalah sosok yang bukan hanya sekedar mengikuti arus massa dan taktik-taktik melulu, yang dengan sarkas disebut Gie, sebagai sosok ”Yang dari ujung rambutnya sampai ujung kukunya berisi strategi dan taktik yang selalu bisa disesuaikan dengan kondisi.’’
Gie juga menulis pengalamannya saat ada tuntunan agar Senat dibersihkan dari golongan-golongan kontrarevolusi HMI-Manikebu. ”Dalam ‘konfrontasi’ itu saya jelaskan bahwa dalam Senat tak ada HMI.
Yang ada hanya si A atau si B,’ ujarnya, ”dan kami memilihnya bukan sebagai wakil-wakil ormas-ormas, tapi sebagai individu-individu yang cakap.” Dalam ‘’konfrontasi’’ itu,Gie menang, dan karenanya tidak ada seorang pun anggota HMI dan aktivis Manikebu yg dikeluarkan! Gie menegaskan bahwa yang harus ditegakkan adalah prinsip kepemimpinan yg sehat.
Dari pengalaman itu, Gie tetap berupaya ‘’memelihara’’ dan ‘’menjaga’’mimpi indahnya tentang sosok-sosok mahasiswa yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran dan salah sebagai kesalahan. Dalam tulisannya itu Gie juga menyampaikan mimpi keduanya, yang dia pertanyakan sendiri, ”Apakah mimpi kedua saya (ini) terlalu luks?”
Masih dalam tulisannya, Soe Hok Gie memperlihatkan kengeriannya ketika Soekarno mengeluarkan larangan membaca buku-buku Sumitro, Mochtar Lubis dan Idrus, juga mengintimidasi agar buku-buku HB Jassin, Bur Rasuanto dan kaum manikebuis dilarang dipakai.
”Yang lebih mengerikan, sampai buku-buku kanak-kanak karangan Idrus, Gorda dan Pesawat Terbang, buku Tata Bahasa Takdir Alisyahbana, dan Teknik Mengarang-nya Mochtar Lubis ikut dilarang.”
Ia sungguh merasa resah jika mahasiswa hanya diperkenankan menerima satu sumber informasi. ”Bagi saya, kebebasan mimbar berarti kebebasan untuk mencari sumber-sumber dari mana pun juga, kebebasan untuk meneliti dan mengkritik sumber-sumber tadi, memberikan kesempatan kepada civitas academica untuk menyatakan pendapat-pendapatnya, walau punbertentangan dengan pihak penguasa. Ya, kebebasan yang disertai akan tanggungjawab secara dewasa,” tegasnya.
Tahun 1966 situasi berubah. Orde Lama akhirnya tumbang, dan lahirlah Orde Baru. Tetapi Gie tetap kritis terhadap perubahan itu. Ia tegas ungkapkan, ”Tetapi bukan struktur dan kesadarannya yang berubah. Dulu atas nama Nasakom, sekarang atas nama Pancasila – Agama dan Orde Baru.”
Orde berubah, tapi di mata Gie, kebebasan mimbar tak pernah kembali. Kebebasan tetap menjadi barang luks yang mahal bagi mahasiswa. Buktinya, di era Orde Baru, buku-buku Pramudya Ananta Toer dan kawan-kawan komunisnya dilarang. ‘’Bagi saya adalah sama buruknya melarang membaca buku Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis pada tahun 1965 dengan melarang membaca buku Cerita dari Blora Pramudya A Toer,” tegasnya.
Saat itu juga, Gie berharap agar di masa depan universitas akan dapatkankebebasan mimbarnya, karena itu dinilainya sebagai sesuatu yang fundamental.
Di alinea akhir tulisannya, Gie tetap memperlihatkan kegalauannya akansegera meninggalkan dunia kemahasiswaan. Ia mengaku meninggalkannya dengan hati berat dan tidak tenang.
(Penulis: Darmansyah)
0 komentar:
Post a Comment