Di akhir abad ke-15, atau selambat-lambatnya awal abad ke-16, seorang pendeta bernama Bujangga Manik melakukan “wisata ziarah” ke tempat-tempat suci di Pulau Jawa. Bahkan, dalam perjalanan kedua, ia sampai ke Bali. Ia berangkat dari ibu kota Pakuan Pajajaran (Bogor sekarang), baik melalui darat maupun melalui laut. Kisah perjalanan yang dituliskannya pada helaian daun lontar, juga mungkin nipah atau gebang dengan menggunakan bahasa Sunda, sejak tahun 1627 tercatat sebagai koleksi Bodleian Library di Oxford, Inggris.
Dari catatan perjalanannya itu, terkesan ia sekurang-kurangnya dua kali melintas ke tempat yang sekarang dikenal sebagai daerah Gunung Gede Pangrango (3.019 m). Dalam perjalanan pertama sewaktu berangkat ke wilayah timur, ia melalui tempat-tempat yang namanya masih dipertahankan hingga sekarang, misalnya Tajur Mandiri (sekarang Tajur) dan Suka Beurus (sekarang Sukabirus). Demikian juga tempat bernama Puncak yang ketika itu sudah dikenal.
Katanya, “Panjang ta(n)jakan ditedak, ku ngaing dipeding-peding. Sadatang aing ka Puncak, deuuk di na mu(ng)kal datar, teher ngahihidan awak. Teher sia ne(n)jo gunung, itu ta na Bukit Ageung, hulu wano na Pakuan.” Terjemahan bebasnya kira-kira berarti, “Panjang tanjakan yang kulalui, kutempuh dengan tekun. Setiba aku di Puncak, aku duduk di atas batu datar (rata) sambil mengipasi tubuh. Lalu aku memandang ke arah gunung, itulah Bukit Ageung, titik tertinggi di wilayah Pakuan”.
Ketika kedua kalinya melalui daerah itu, ia datang dari timur. Sekembali dari perjalanan ziarahnya mengunjungi tempattempat suci di Majapahit, bahkan Bali. Katanya, ”Sadatang ka Bukit Ageung: eta hulu Cihaliwung, kabuyutan ti Pakuan, sanghiang Talaga Warna.” Terjemahan bebasnya kira-kira, “Setiba di Bukit Ageung, itulah hulu Ci Liwung, kabuyutan (= tempat suci) dari Pakuan, (yaitu) sanghiang Talaga Warna”.
Bukit Ageung atau Bukit (gunung) Besar yang terdapat di daerah Puncak, dan juga menyebut Ci Liwung dan Talaga Warna, pastilah gunung yang sekarang bernama Gunung Gede (2.958 m). Atau, dalam hal masih timbul keraguan, bersama “saudara kembarnya”, Gunung Pangrango (3.019 m). Bagi sebagian masyarakat yang sekarang berdiam di sekitar kedua gunung itu, Gunung Gede memang kadang-kadang juga disebut Gunung Agung atau Gunung Ageung.
Gunung lain yang oleh masyarakat sekitarnya juga dinamakan Gunung Ageung (Agung) atau Gunung Gede adalah Gunung Ciremay (3.078 m) di Cirebon dan Gunung Slamet (3.428 m) di Pekalongan.
Kutipanpuisi itu memberikan petunjuk kepada kita bahwa di masa lampau, ketika negara yang beribukotakan Pakuan masih ada, Gunung Gede dengan Telaga Warna sudah merupakan kabuyutan atau tempat suci. Apakah Talaga Warna menurut Bujangga Manik itu (awal abad ke-16) sama dengan Talaga Rena Mahawijaya menurut prasasti Batutulis (1533)? Hingga saat ini sebagian ada yang berpendapat demikian. Walaupun, tentu saja, cukup mengherankan jika dalam waktu tidak sampai seperempat abad, jika memang benar, namanya sudah berubah dari Talaga Warna menjadi Talaga Rena Mahawijaya.
Petunjuk lain yang dapat diambil dari naskah itu adalah yang berhubungan dengan lembah Mandalawangi, yang oleh sebagian masyarakat juga dikenal dengan nama lembah Eyang Suryakencana. Bujangga Manik yang dengan sengaja berkunjung ke berbagai kabuyutan dan tempat suci hingga ke ujung timur Pulau Jawa dan Bali ternyata sama sekali tidak menyebutkan kabuyutan Eyang Suryakencana.
Apakah itu berarti bahwa ketika itu kabuyutan itu belum ada? Sesuatu yang juga sangat masuk akal mengingat, menurut tradisi rakyat setempat, Eyang Suryakencana adalah Raja Pajajaran yang terakhir. Artinya, jika itu dihubungkan dengan berita naskah Carita Parahyangan (1580) dan kemudian diperkuat oleh Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawa Kulwan (1687) karya Pangeran Wangsakerta dan kawan-kawan dari Cirebon, terdapat kesesuaian juga.
Menurut kedua naskah itu, raja terakhir yang bernama Nu Siya Mulya “ia (baginda) yang mulia” memerintah selama tahun (1567-1579). Berarti, ketika Bujangga Manik berkunjung ke Gunung Gede, Nu Siya Mulya atau yang Suryakencana belum menjadi raja, bahkan mungkin juga belum lahir. Karena itu, sangat wajar jika ia tidak mengenal kabuyutan yang memang diharapkan itu belum ada.
Alam di sekitar Gunung Gede-Pangrango ternyata merupakan makmal, ‘laboratorium’, alam untuk berbagai jenis tanaman. Hal itu menyebabkan para perintis botani pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, misalnya Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864), ahli botani keturunan Jerman yang berkelana di pegunungan Jawa Barat, meneliti fenomena alam tropis. Ia pun memperkenalkan tanaman kina dan membudidayakannya di daerah Lembang.
Selain Junghuhn, juga tercatat peneliti tanaman tropis di daerah pegunungan Jawa, termasuk Gede dan Pangrango, adalah G Forbes, Direktur Museum Botani di Liverpool, Inggris. Forbes tahun 1871 pernah berkelana di alam pegunungan Jawa Barat, dari Buitenzorg (Bogor) ke Bandung dengan kereta pos dengan kuda dan kerbau, semalam suntuk baru tiba di Bandung.
Kekayaan tanaman di pegunungan itu menyebabkan penguasa pada waktu itu lalu melakukan upaya perlindungan. Tindakan nyatanya adalah dengan menjadikan kawasan itu sebagai suaka alam dan kini menjadi Taman Nasional Gede-Pangrango.
Untuk memperlihatkan betapa bermaknanya kedua gunung itu bagi orang Sunda yang menganggap berasal dari Pajajaran, simaklah lirik lagu berikut ini:
“Gunung Gede siga nu nande/ nandean ka badan abdi/ Gunung Pangrango ngajogo/ ngadagoan abdi wangsul/ wangsul ti pangumbaraan/ kebo mulih pakandangan/ nya muncang labuh ka puhu/ anteurkeun ka Pajajaran”.
Terjemahan bebasnya, “Gunung Gede bagaikan menampung, menampung tubuh diriku; Gunung Pangrango menunggu, menanti aku kembali; aku pulang mengembara, bagai kerbau kembali ke kandangnya, bagaikan kemiri jatuh ke pangkal, antarkanlah daku ke Pajajaran”.
Begitu pun Kalipah Apo atau Ace Majid, ketika berada di puncak Gunung Halimun, ia bermadah, Laut Kidul kabeh katingali/ ngembat paul kawas dina gambar/ ari ret ka tebeh kaler/ Batawi ngarunggunuk/ lautna mah teu katingal/ ukur lebah-lebahna/ semu-semu biru/ ari ret ka kaler wetan/ Pangrango siga nu ngajak balik/ meh bae kapiuhan.
Terjemahan bebasnya, “Laut Kidul semua jelas terlihat, membiru bagaikan gambar, ketika memandang ke arah utara, Kota Betawi pun muncul, namun lautnya tak tampak, hanya perkiraan letaknya yang terlihat berwarna biru; ketika menoleh ke timur laut, Pangrango bagaikan mengajak pulang, aku pun hampir pingsan”.
Gunung Gede-Pangrango memang gunung kabuyutan di Tatar Sunda. Gunung yang menjadi taman nasional ini harap saja tetap menjadi “tempat suci” yang dijaga dan dilestarikan. Meski di seputarannya, penjarahan dan perusakan alam masih terus berlangsung, malah makin hebat dan membinasakan kalau tidak dicegah. Apa mampu?
Di akhir abad ke-15, atau selambat-lambatnya awal abad ke-16, seorang pendeta bernama Bujangga Manik melakukan “wisata ziarah” ke tempat-tempat suci di Pulau Jawa. Bahkan, dalam perjalanan kedua, ia sampai ke Bali. Ia berangkat dari ibu kota Pakuan Pajajaran (Bogor sekarang), baik melalui darat maupun melalui laut. Kisah perjalanan yang dituliskannya pada helaian daun lontar, juga mungkin nipah atau gebang dengan menggunakan bahasa Sunda, sejak tahun 1627 tercatat sebagai koleksi Bodleian Library di Oxford, Inggris.
Dari catatan perjalanannya itu, terkesan ia sekurang-kurangnya dua kali melintas ke tempat yang sekarang dikenal sebagai daerah Gunung Gede Pangrango (3.019 m). Dalam perjalanan pertama sewaktu berangkat ke wilayah timur, ia melalui tempat-tempat yang namanya masih dipertahankan hingga sekarang, misalnya Tajur Mandiri (sekarang Tajur) dan Suka Beurus (sekarang Sukabirus). Demikian juga tempat bernama Puncak yang ketika itu sudah dikenal.
Katanya, “Panjang ta(n)jakan ditedak, ku ngaing dipeding-peding. Sadatang aing ka Puncak, deuuk di na mu(ng)kal datar, teher ngahihidan awak. Teher sia ne(n)jo gunung, itu ta na Bukit Ageung, hulu wano na Pakuan.”
Terjemahan bebasnya kira-kira berarti,
“Panjang tanjakan yang kulalui, kutempuh dengan tekun. Setiba aku di Puncak, aku duduk di atas batu datar (rata) sambil mengipasi tubuh. Lalu aku memandang ke arah gunung, itulah Bukit Ageung, titik tertinggi di wilayah Pakuan”.
Ketika kedua kalinya melalui daerah itu, ia datang dari timur. Sekembali dari perjalanan ziarahnya mengunjungi tempattempat suci di Majapahit, bahkan Bali. Katanya, ”Sadatang ka Bukit Ageung: eta hulu Cihaliwung, kabuyutan ti Pakuan, sanghiang Talaga Warna.“
Terjemahan bebasnya kira-kira, “Setiba di Bukit Ageung, itulah hulu Ci Liwung, kabuyutan (= tempat suci) dari Pakuan, (yaitu) sanghiang Talaga Warna”.
Bukit Ageung atau Bukit (gunung) Besar yang terdapat di daerah Puncak, dan juga menyebut Ci Liwung dan Talaga Warna, pastilah gunung yang sekarang bernama Gunung Gede (2.958 m). Atau, dalam hal masih timbul keraguan, bersama “saudara kembarnya”, Gunung Pangrango (3.019 m). Bagi sebagian masyarakat yang sekarang berdiam di sekitar kedua gunung itu, Gunung Gede memang kadang-kadang juga disebut Gunung Agung atau Gunung Ageung.
Gunung lain yang oleh masyarakat sekitarnya juga dinamakan Gunung Ageung (Agung) atau Gunung Gede adalah Gunung Ciremay (3.078 m) di Cirebon dan Gunung Slamet (3.428 m) di Pekalongan.
Kutipanpuisi itu memberikan petunjuk kepada kita bahwa di masa lampau, ketika negara yang beribukotakan Pakuan masih ada, Gunung Gede dengan Telaga Warna sudah merupakan kabuyutan atau tempat suci. Apakah Talaga Warna menurut Bujangga Manik itu (awal abad ke-16) sama dengan Talaga Rena Mahawijaya menurut prasasti Batutulis (1533)? Hingga saat ini sebagian ada yang berpendapat demikian. Walaupun, tentu saja, cukup mengherankan jika dalam waktu tidak sampai seperempat abad, jika memang benar, namanya sudah berubah dari Talaga Warna menjadi Talaga Rena Mahawijaya.
Petunjuk lain yang dapat diambil dari naskah itu adalah yang berhubungan dengan lembah Mandalawangi, yang oleh sebagian masyarakat juga dikenal dengan nama lembah Eyang Suryakencana. Bujangga Manik yang dengan sengaja berkunjung ke berbagai kabuyutan dan tempat suci hingga ke ujung timur Pulau Jawa dan Bali ternyata sama sekali tidak menyebutkan kabuyutan Eyang Suryakencana.
Apakah itu berarti bahwa ketika itu kabuyutan itu belum ada? Sesuatu yang juga sangat masuk akal mengingat, menurut tradisi rakyat setempat, Eyang Suryakencana adalah Raja Pajajaran yang terakhir. Artinya, jika itu dihubungkan dengan berita naskah Carita Parahyangan (1580) dan kemudian diperkuat oleh Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawa Kulwan (1687) karya Pangeran Wangsakerta dan kawan-kawan dari Cirebon, terdapat kesesuaian juga.
Menurut kedua naskah itu, raja terakhir yang bernama Nu Siya Mulya “ia (baginda) yang mulia” memerintah selama 12 tahun (1567-1579). Berarti, ketika Bujangga Manik berkunjung ke Gunung Gede, Nu Siya Mulya atau yang Suryakencana belum menjadi raja, bahkan mungkin juga belum lahir. Karena itu, sangat wajar jika ia tidak mengenal kabuyutan yang memang diharapkan itu belum ada.
Alam di sekitar Gunung Gede-Pangrango ternyata merupakan makmal, ‘laboratorium’, alam untuk berbagai jenis tanaman. Hal itu menyebabkan para perintis botani pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, misalnya Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864), ahli botani keturunan Jerman yang berkelana di pegunungan Jawa Barat, meneliti fenomena alam tropis. Ia pun memperkenalkan tanaman kina dan membudidayakannya di daerah Lembang.
Selain Junghuhn, juga tercatat peneliti tanaman tropis di daerah pegunungan Jawa, termasuk Gede dan Pangrango, adalah G Forbes, Direktur Museum Botani di Liverpool, Inggris. Forbes tahun 1871 pernah berkelana di alam pegunungan Jawa Barat, dari Buitenzorg (Bogor) ke Bandung dengan kereta pos dengan kuda dan kerbau, semalam suntuk baru tiba di Bandung.
Kekayaan tanaman di pegunungan itu menyebabkan penguasa pada waktu itu lalu melakukan upaya perlindungan. Tindakan nyatanya adalah dengan menjadikan kawasan itu sebagai suaka alam dan kini menjadi Taman Nasional Gede-Pangrango.
Untuk memperlihatkan betapa bermaknanya kedua gunung itu bagi orang Sunda yang menganggap berasal dari Pajajaran, simaklah lirik lagu berikut ini:
“Gunung Gede siga nu nande/ nandean ka badan abdi/ Gunung Pangrango ngajogo/ ngadagoan abdi wangsul/ wangsul ti pangumbaraan/ kebo mulih pakandangan/ nya muncang labuh ka puhu/ anteurkeun ka Pajajaran”.
Terjemahan bebasnya, “Gunung Gede bagaikan menampung, menampung tubuh diriku; Gunung Pangrango menunggu, menanti aku kembali; aku pulang mengembara, bagai kerbau kembali ke kandangnya, bagaikan kemiri jatuh ke pangkal, antarkanlah daku ke Pajajaran”.
Begitu pun Kalipah Apo atau Ace Majid, ketika berada di puncak Gunung Halimun, ia bermadah, Laut Kidul kabeh katingali/ ngembat paul kawas dina gambar/ ari ret ka tebeh kaler/ Batawi ngarunggunuk/ lautna mah teu katingal/ ukur lebah-lebahna/ semu-semu biru/ ari ret ka kaler wetan/ Pangrango siga nu ngajak balik/ meh bae kapiuhan.
Terjemahan bebasnya, “Laut Kidul semua jelas terlihat, membiru bagaikan gambar, ketika memandang ke arah utara, Kota Betawi pun muncul, namun lautnya tak tampak, hanya perkiraan letaknya yang terlihat berwarna biru; ketika menoleh ke timur laut, Pangrango bagaikan mengajak pulang, aku pun hampir pingsan”.
Gunung Gede-Pangrango memang gunung kabuyutan di Tatar Sunda. Gunung yang menjadi taman nasional ini harap saja tetap menjadi “tempat suci” yang dijaga dan dilestarikan. Meski di seputarannya, penjarahan dan perusakan alam masih terus berlangsung, malah makin hebat dan membinasakan kalau tidak dicegah. Apa mampu?